Dalam situasi tak menentu, kecepatan menjadi penentu. Krisis membuat orang bisa cepat berubah pikiran. Kalau pemasar terlalu lama memproses order dari pelanggan-pelanggan, konsumen dapat melakukan salah satu: Berpindah atau berubah pikiran. Yang jelas mereka tidak mau menunggu. Sebab jarak antara satu pemasar dan pesaing-pesaingnya sudah tidak terlalu jauh, kualitas dan harga di era persaingan pun sudah menjadi homogen. Mereka semua ada di gedung sebelah, bahkan dalam dunia maya, jarak yang satu dengan yang lainnya hanya satu klik saja.
Untuk bergerak cepat kita perlu orang-orang yang bergerak cepat dengan dukungan organisasi yang sederhana, bukan organisasi yang kompleks. Kita juga perlu menyederhanakan produk, membuatnya lebih mudah dipakai dan mudah dipilih.
Di masa krisis, di mana-mana yang terdengar adalah keluh kesah, rasa takut, caci maki, rasa benci, amarah, dan segala hal yang negatif. Termasuk perilaku menunda pembayaran, mengemplang, membatalkan kesepakatan, membakar, memukul dan sebagainya. Sehari-hari media massa juga lebih banyak menyajikan “ bad news “ seperti pertikaian, perceraian, perampokan, pembunuhan, pemerasan, penculikan, kebakaran, demonstrasi, kerusuhan, tuntutan hukum, dan lain sebagainya. Akibatnya, semua menjadi pesimis, takut, dan negatif.
Dalam suasana yang demikian, pemegang produk harus tampil lebih berani dengan menyajikan pesan-pesan komunikasi yang lebih positif dan mengajak media masaa untuk mengurangi atau bahkan menghapus pemberitaan-pemberitaan kotor, keji, dan negatif agar masyarakat kembali bersikap positif.
Dalam keadaan apa pun, sikap negatif akan mendorong konsumen mengurangi konsumsi dan menahan pengeluaran. Sebaliknya, konsumsi dan investasi rumah tangga hanya dilakukan kalau masyarakatnya bersikap positif.
(Sumber : Kutipan dari buku Marketing in Crisis, Rhenald Kasali)